Dialogku denganmu tetap tak pernah berubah dari kebisuan. hanya diam dalam kata-kata tanpa suara. Tak pernah menjadi dialog murni. Di kedekatan, justru seolah sangat jauh terpandang. Entah saat ini kami mempersingkat jarak atau justru memperpanjang jarak yang selama ini masih memisah. Hingga lantas kami harus menerima apa yang tuhan tanamkan dalam kami. Bersandar pada sesuatu yang kadang sangat manis namun terkadang sangat menyakitkan. Dan kami pun selalu merindukan-Nya yang senantiasa menjadi sumber abadi atas segala hakekat.
Aku berusaha mengubah batu-batu keras menjadi Kristal yamg bercahaya dan Kerasnya menjadi selembut tubuh-tubuh lilin. Dialog kami membisu. Bagaimana dialog akan berlanjut? aku pasrah pada jalan takdir yang telah tertuliskan. Aku pun yakin ia pasti memahami apa yang terucap dan apa yang tak bisa terucap dariku.
Kata-kata adalah singgahsana hatiku. Kata-kata adalah hati yang memanggil logika untuk bermain di tempat yang sama. Beradu argumen dan cara pandang atau saling menguatkan. Aku masih bersama sapaan-sapaan tertahan yang berdiri di atas seribu satu usaha untuk enyahkan kebimbangan dan kegundahan hatiku karena ketidakmampuanku bersuara. Tapi aku masih tetap berusaha. Melihat apapun dari esensi atas segala misteri yang aneh ini.
Aku sengaja mempertebal dinding hati agar tak lemah, dengan masih beratapkan serta beralaskan kepedulian terhadapnya, juga berusaha untuk terus menghargainya. Pilat-pilar pengorbanan menguasai diri dengan ketegaran yang masih bertahan di sini.
Aku tetap mencoba bicara meski dengan dialog bisu yang ia pahami. Kulihat dia dalam jendela yang beda, Melihat gelagatnya dari pandangan yang berbeda pula. Meski segala kerisauannya tak henti berbaris dalam suatu prosesi di tiap irama waktu ini. Aku tak kuasa meloncat jauh dari hening ini, untuk kemudian memasuki suasana lain. Karena faktanya aku masih di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar